
Dini hari alarm dibunyikan, warga segera berkumpul. Mereka siap "bertempur" mempertahankan rumah mereka yang terancam tergusur.
AksaraINTimes.id – Rahima (52) sibuk mondar-mandir mengatur massa aksi di depan Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Ia meminta mahasiswa untuk berorasi, mediasi dengan pihak polisi yang menghadang masuk ke halaman kantor, ataupun menyiapkan air minum bagi massa. Sekali-kali, ia juga hanya duduk diam dekat mobil komando sembari memegang pataka tolak penggusuran.
Siang itu Selasa (24/2/2020), Rahima, bersama dengan warga Bara-baraya dan mahasiswa, melakukan aksi pengawalan sidang kesimpulan kasus sengketa tanah di Bara-baraya. Aksi itu sudah belasan kalinya sejak gugatan tanah di Bara-baraya, Kecamatan Makassar, Makassar yang mulai bergulir awal tahun 2017 lalu.
Rahima menolak kompromi, tak ada kata mundur mempertahankan tanah miliknya. Baginya, adil hanya satu, yakni jika putusan sidang memenangkan warga Bara-baraya atas penggugat.
Jika tidak, ia tak akan merelakan tanah miliknya yang sudah ditempati puluhan tahun diserahkan begitu saja. Katanya, ia akan tetap mempertahankan tanah warisan orangtuanya meskipun pengadilan tak memenangkannya.
"Kita akan bertahan, sekalipun siapa yang mengeluarkan biar pemerintah manapun, saya tetap akan melawan sampai titik darah penghabisan," kata Rahimah tegas saat ditemui pasca aksi dekat Posko Bara-baraya Bersatu, Jalan Abu Bakar Lambogo.
Rumah Rahima termasuk dalam tanah sengketa yang diklaim penggugat Nurdin Dg. Nombong selaku ahli waris. Rahima dituding telah menyerobot tanah miliknya. Namun Rahima dan 38 KK lain juga kukuh, tanah yang mereka tempati adalah milik mereka berdasarkan akta jual beli dengan ahli waris lain.
Tetapi yang buat sengketa tanah ini semakin rumit yakni keterlibatakan Kodam XIV Hasanuddin. Kodam mengklaim, tanah sengketa yang ditempati warga yakni tanah okupasi milik asrama TNI AD Bara-baraya.
Keterlibatan Kodam XIV Hasanuddin ini membuat sengketa memanas. Apalagi, intimidasi yang kerap dilakukan Kodam buat warga tak pernah merasa tenang sejak adanya ancaman penggusuran.

Ronda Malam Berbulan-bulan
Rahima mengingat sewaktu ancaman penggusuran sedang panas-panasnya. Saat itu, Maret 2017 lalu, pihak Kodam mengintimidasi dengan mengeluarkan surat peringatan hingga tiga kali kepada warga untuk segera mengosongkan lahan yang ditempati.
Warga menolak. Mereka merespon dengan berjaga dari siang hingga malam hari. Warga beramai-ramai ronda mengantisipasi masuknya tentara. Saat itu, kata Rahima, ia tak bisa tidur tenang. Tiap malam ia sering bangun dengan panik jika mendengar alarm berupa bunyi pukulan tiang listrik dari warga yang berjaga.
Seketika jika alarm dibunyikan, kata Rahima, warga berkerumun di tengah jalan dengan alat "tempur" masing-masing. Parang, busur, hingga molotov disiapkan warga untuk menghadang masuknya tentara.
Kata Rahima, semua warga yang terancam tergusur ikut berjaga. Orang tua, laki-laki, perempuan, dan anak-anak semuanya berkerumun di jalan. Ia mengatakan, seolah Bara-baraya dalam keadaan "medan perang" waktu itu.
"Kalau ada alarm kita langsung bangun biar jam berapa, intinya kita siap siaga satu kali 24 jam. Satu kali saya pukul tiang listrik, kita sudah datang semua," ucapnya.
Warga khawatir, sebab beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada Desember 2016 pihak Kodam berhasil membongkar rumah 102 rumah yang berada di dalam asrama TNI AD Bara-baraya.
Waktu itu, pihak Kodam membongkar ratusan rumah tersebut saat tengah malam, mengusir paksa ratusan keluarga dari tempat tinggal mereka. Paginya, rumah-rumah mereka sudah rata dengan tanah.
Jika warga tak berjaga tengah malam, mereka takut, pihak Kodam sewaktu-waktu dapat masuk dan membongkar rumah mereka seperti kejadian sebelumnya.
"Kita tetap siaga, ada empat bulan kita tidak ada tidur, makan tidak enak segala-galanya semua," katanya.
Rahima sudah siap jika bentrokan pecah saat itu. Ia bersama warga Bara-baraya sudah bertekad penuh mempertahankan mati-matian tanah miliknya.
"Saya tidak pernah takut, siapapun yang datang tetap kita akan lawan biarpun tentara. Saya sudah siapkan bom molotov, busur beracun, parang panjang sudah saya siapkan, siapapun yang merampas di sini warga Bara-baraya akan berlawan," ujarnya.
"Lebih Baik Mati Daripada Digusur"
Kegelisahan sama juga dirasakan Andarias selaku warga Bara-baraya yang rumahnya terancam tergusur. Akunya, Ia tak pernah tidur tenang sejak adanya ancaman penggusuran. Apalagi kekuatan lawan, yakni penggugat bersama Kodam, tidaklah main-main.
"Selama ini kita tentram saja hidup dengan tenang tidak ada gangguan, tidak ada ancaman apa-apa, tidak ada riak-riak tiba-tiba muncul yang namanya mafia tanah," ucapnya yang ditemui di tempat yang sama.
Andarias tak terima jika ia disebut menerobos tanah. Sebab tanah tersebut adalah warisan orangtuanya puluhan tahun lalu. Ia pun mengatakan punya bukti akta jual beli atas aset tanahnya.
Sebagai Ketua RT di wilayah tersebut, Andarias tau betul bagaimana ia dan warga Bara-baraya terus-terusan merasa cemas atas ancaman penggusuran. Pekerjaan mereka terganggu karena terus memikirkan hal tersebut. Sementara anak-anak mereka juga terbebani secara psikis memikirkan kemungkian rumah mereka rata dengan tanah.
Terlebih saat ancaman penggusuran sedang panas-panasnya. Anak-anak mereka yang masih bersekolah pun turut berjaga hingga subuh dini hari. Kegelisahan seperti itu terus mereka rasakan tiga tahun belakangan.
"Tidak mungkin mau konsentrasi untuk urus sekolah kalau tiba-tiba rumannya tergusur sama buldozer toh, kan mereka tidak ada yang tenang, anak-anak, orang tua, semua merasa berkepentingan dan tidak mungkin mereka tenang tinggalkan rumah tiba-tiba sudah terbongkar," ujarnya.
Katanya, ia dan warga Bara-baraya lain sudah bertekad tak akan menyerah atas ancaman penggusuran. Menurutnya, akan sangat tidak adil jika pengadilan nantinya memutuskan pihak penggugat sebagai pemenang. Padahal, akta jual beli tanah dipegang oleh warga Bara-baraya.
Baginya pun tak ada kata menyerah. Selain itu, Ia menyatakan tak akan pernah menerima ganti rugi jika memang suatu saat ditawarkan nanti.
"Lebih baik kita mati daripada gusur, jadi tidak ada istilah gusur, tidak ada istilah ganti rugi kita tidak terima. Ngapain mau ganti rugi, dia maksa kita untuk jual kita punya tanah, kalau kita tidak mau ya tidak mungkin apalagi tanpa ganti rugi misalnya," ujarnya.
Duduk Perkara Sengketa
Tanah seluas 32.040 meter kubik di Bara-baraya awalnya milik Moedhinoeng Dg Matika, berdasarkan Verponding Nomor 2906. Setelah kematiannya, secara hukum tanah tersebut diwariskan kepada sang istri, Kasiang Dg. Ratu dan ketiga anaknya, Nurdin Dg. Nombong (penggugat sekarang), Daniah Dg. Ngai, dan Dg. Ngugi.
Pada tahun 1959, Komando Rayon Militer (Koramil) Kota Makassar saat itu kemudian menyewa tanah dari Dg. Nombong seluas 28.970 meter kubik berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa (PSM) Nomor 88/T/459.
Dari luas tanah yang disewa, rupanya yang digunakan untuk membangun asrama TNI AD Bara-baraya hanya seluas 22.083 meter kubik. Sementara 6.887 meter kubik sisanya, Dg. Ratu lantas memberikan hak sewa tanah kepada 8 KK yang terletak di sebelah Barat asrama.
Ahli waris lain, Dg. Ngai juga turut menjual tanah yang berada di sebelah Timur asrama kepada 20 KK, lokasi yang sekarang menjadi tanah sengketa. Atas dasar jual beli ini pula Rahima, Andarias, dan warga Bara-baraya tetap mempertahankan tanahnya.
Adanya PSM antara Koramil dengan pihak ahli waris saat itu menjadi landasan Kodam XIV Hasanuddin terlibat dalam sengketa tanah warga. Alasan keterlibatan, Kodam berniat mengembalikan sewa tanah tersebut kepada ahli waris.
Edy Kurniawan, Koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, yang juga selaku kuasa hukum warga Bara-baraya mengatakan, tanah sengketa yang diklaim penggugat bagian dari asrama rupanya tidak terbukti berdasarkan sidang kesimpulan.
Sebab, pihak asrama TNI AD Bara-baraya tidak pernah mengusai tanah selama warga menempati lokasi tersebut sejak tahun 1960-an. Pihak TNI pun tak pernah menegur warga yang berada di lokasi itu.
"Logikanya kalau warga dituduh menyerobot tanah okupasi di saat kuatnya rezim militer saat itu, kenapa TNI tidak menegur mereka selama warga tinggal di situ," ucap Edy di depan Kantor PN Makassar, Selasa (25/2/2020).
Katanya, warga saat itu mana mungkin berani mengokupasi rumah di atas tanah tentara. Bahkan berdasarkan cerita dari warga, sambung Edy, jika terdapat buah yang jatuh di luar asrama, tak ada yang berani mengambil karena takut.
Ia mengatakan, warga memperoleh tanah tersebut berdasarkan akta jual beli. Selain itu, ada juga yang memperoleh secara hibah ataupun pengusaan fisik tanah secara 20 tahun lebih. Hal itu, kata Edy, juga memiliki dasar hak.
"Dan kalau mau dibandingkan, lebih kuat dasar haknya warga ketimbang Kodam, Kodam kan hanya sewa, warga jual beli dan hibah secara hukum lebih kuat," ujarnya.
Sidang putusan sendiri diagendakan akan berlangsung dua Minggu depan. Apapun keputusannya, bagi Rahima dan Andarias, tanah mereka adalah milik mereka seutuhnya, bukan milik mafia tanah.
Penulis: Amri N. Haruna
Editor: Dian Kartika
Sumber : Aksaratimes.id
LiputanMakassar.com Kami Mengumpulkan serta Menyajikan berita dari sumber terpercaya baik media massa terkemuka di Indonesia maupun akun sosmed yang memiliki integritas dalam menyajikan berita keadaan di Makassar.